Mehule, Permainan Tradisional Morowali yang Hampir Tergerus Zaman
Permainan ini sengaja dihidupkan kembali agar generasi serta nilai-nilai kebudayaan yang terkandung di dalamnya terus lestari
PROLIFIK.ID – Sekitar lima orang anak pagi itu dengan masing-masing hule di tangan, melingkari suatu bulatan garis putih di tengah lapangan, lalu dengan aba-aba secara serentak membuang hule ke tanah, dibiarkan berputar dengan menyisakan tali di genggaman.
Anak-anak itu nampak serius dan pandai bermain. Mereka sibuk memperhatikan hule yang mereka buang tadi yang diantaranya, ada yang berhenti berputar dan ada yang masih bertahan.
Rupanya, itu hanyalah simulasi. Anak-anak tersebut beberapa menit lagi diminta tampil bersama Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Morowali, Sulteng untuk memperlihatkan ketangkasan bermain hule, pada kegiatan Metandi Mehule atau Bertanding Bermain Hule/Gasing, Kamis (30/12/2021) di Pelataran Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah (BPPD) Morowali.
Permainan itu nampak sangat seru. Selain, Bupati dan Wakil Bupati Morowali, pejabat daerah setempat ikut larut dalam suasana mehule. Bahkan demi pertandingan, beberapa peserta telah mempersiapkan diri jauh sebelum hari pelaksanaan.
Sebenarnya bagaimanakah Metandi Mehule itu? Mehule nampak seperti bermain gasing, yakni satu permainan yang masih dikenal hingga kini. Namun bedanya, gasing kekinian terbuat dari plastik.
Cara permainannya pun beda. Jika gasing modern membutuhkan alat khusus seperti tempat penyangga atau alat penekan agar gasing bisa berputar. Sementara, gasing tradisional Morowali, terbuat dari kayu dan membutuhkan tali sebagai alat pemutarnya.
Haliadi Sadi dkk, dalam bukunya ‘Sejarah Kerajaan Bungku’ (2012) menggambarkan, hule adalah alat permainan yang dibuat dari kayu yang dibentuk sedemikian rupa, sehingga berbentuk bulat seperti kubah bersusun.
Pada bagian lehernya terdapat tempat untuk melilitkan efi =tali kecil yang dibuat dari serat pohon faru=waru, yang dililitkan ke badan hule sebagai alat bantu untuk memutarnya.
Mehule biasanya dimainkan oleh beberapa orang anak laki-laki. Boleh ba’asa-asa=perorangan atau mefali-fali=berteman (beregu).
Langkah-langkah dalam permainan itu awalnya dilakukan me’ole=undian untuk menentukan siapa yang akan melempar pertama. Me’ole yaitu tumuri=memutar hule (gasing) secara bersamaan.
Siapa yang paling lama hule-nya berputar, ialah yang pertama mompasi=melempar dan yang paling cepat hule-nya berhenti, berada di urutan terakhir untuk melempar.
Baca juga: Menelusuri Jejak Sejarah Islam di Sulteng lewat Mesjid Tua Bungku
Langkah permainannya seperti ini, setelah selesai me’ole. Ada anak-anak yang tenangi=kalah dan tumuri=menang. Maka, anak yang tumuri=menang melakukan mompasi=melempar.
Jika lemparannya mengena, juga berlaku undian. Akan dilihat gasing siapa yang paling berhenti cepat, pelempar atau gasing yang dilempar. Jika gasing yang melempar menang, maka ia akan melempar kembali seperti prosedur yang pertama.
Tapi jika gasingnya dikalahkan oleh yang dilempar, maka yang melempar lagi yang tumuri untuk dilempar oleh anak yang pertama gasingnya dilempar.
Namun, jika bersamaan waktunya berhenti (puli), maka dilakukan mesangko efi yaitu saling mengaitkan efi=tali pemutar, lalu ditarik bersamaan untuk memutar hule-nya masing-masing.
Dan menjadi ukuran kemenangan adalah siapa yang paling lama hule-nya berhenti berputar.
Dalam bukunya, Haliadi dkk menekankan, jika ada perbedaan besarnya hule, maka yang memiliki hule yang lebih besar, pada saat melempar diharuskan mola-la efi yakni harus melakukan pelemparan dengan jarak jauh dari hule yang kecil.
Mehule akan Terus Dilestarikan
Wabup Kabupaten Morowali, Najamudin menuturkan, tradisi mehule sebenarnya ada sejak dulu tepatnya saat musim panen padi datang. Di masa itu, warga di kampung akan melakukan pertandingan hule.
Sementara saat dirinya duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), permainan tersebut menjadi alat mainan paling populer di sekitaran tahun 70-an. Ia dan teman-teman kecilnya bahkan terbiasa membuat hule sendiri.
“Cara membuatnya mudah. Kita ambil batang pohon kemudian dibentuk (dikikis) dengan parang (hingga menjadi bentuk hule),”jelasnya.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Kawasan Konservasi dan Wisata Sombori
Lalu, tali=efi diambil dari batang pohon waru. Cara membuatnya, batang pohon waru ditebang. Kemudian di rendam di sungai atau di tempat yang becek. Lalu akan terjadi perubahan, batang yang direndam tadi akan menjadi licin. Setelah itu batang tersebut dikupas dan dijemur.
“Dari hasil jemuran tadi diambil seratnya. Kemudian dijadikan tali,”jelas Najamudin.
Sementara untuk pembuatan hule sendiri, biasanya mereka menggunakan kayu yang punya jenis kekerasan yang cukup baik.
Ada tiga kayu yang sering digunakan menjadi dasar pembuatan hule, yakni kayu ba’a, lara dan bete-bete.
“Kalau diurutkan kualitasnya, maka yang lebih bagus itu lara, ba’a dan terakhir bete-bete,”ujar Najamudin.
Permainan tradisional itu, lalu perlahan-lahan mereka tinggalkan terutama Najamudin karena harus merantau di Kota Palu, melanjutkan pendidikannya di Madrasah Aliyah hingga perguruan tinggi.
“Di Palu tidak ada mehule. Kita sibuk sekolah,”kenangnya.
Dan hari itu, permainan hule untuk pertamakalinya dilaksanakan setelah puluhan tahun terlupakan dan kini coba dihidupkan kembali di Kabupaten Morowali.
Tercatat sebanyak 74 tim dengan masing-masing perwakilan tim enam orang bertanding hule, memperebutkan Rp 25 juta. Pesertanya dari kecamatan, desa hingga Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di wilayah itu.
“Harapannya, kita bisa menghidupkan budaya. Memperkenalkan bahwa daerah kita punya satu karya seni permainan yang belum tentu dimiliki daerah lain,”tutur Najamudin
Baginya, permainan itu bisa menarik penonton, memperkuat silaturahmi. Jenis permainan itu juga dinilainya murni adu ketangkasan. Sehingga tidak akan ada yang merasa tersisih jika kalah.
“Kedepan masih akan dilaksanakan kegiatan serupa. Namun masih perlu banyak perbaikan. Misalnya peserta masih kaku bermain dan perdebatan soal penilaian,”akunya.
Ketua Pelaksana Kepala BPBD, Harsono Lamusa dalam sambutannya mengatakan kegiatan itu dilaksanakan untuk memupuk semangat persatuan dan kesatuan warga di Kabupaten Morowali.
“Permainan ini pernah populer sekitar 40 tahun yang lalu,”ujarnya.
Permainan itu sengaja dihidupkan kembali agar generasi serta nilai-nilai kebudayaan yang terkandung di dalamnya terus lestari. Terutama mengangkat permainan rakyat.
“Sekarang, anak-anak lebih kencanduan main game di handphone. Dengan kegiatan ini, kita redam kegiatan mereka untuk main game,”ujarnya lagi.
Mendekatkan Pemerintah dengan Rakyat
Kegiatan mehule yang telah terlaksana tanpa disadari membentuk nilai-nilainya sendiri. Beberapa diantaranya yakni membentuk karakter dan moral masyarakat. Dan yang paling penting, terjalinnya silaturahmi antara pemerintah, dewan adat dan masyarakat yang hadir dalam kegiatan itu.
Baca juga: Ritual Pamalupaan, Tradisi Warga Sombori Mencari Keselamatan Kampung
“Kemarin itu saya melihat sudah luar biasa terjalin hubungan yang sangat baik,”kata Ketua Dewan Adat Bungku, Kabupaten Morowali, Maidhzun Ilwan atau yang lebih akrab disapa John Ridhwan ini.
Namun, sebagaimana pesta pasti ada yang tidak sempurna. Ia menilai, seperti halnya Najamudin, pelaksanaan kegiatan kemarin masih perlu banyak penyempurnaan agar ke depan metandi mehule bisa lebih baik lagi.
“Karena kemarin konsepnya yang penting ramai seperti keinginan Bupati Morowali agar bagaimana kegiatan itu bisa menimbulkan animo masyarakat, maka beberapa syarat permainan terpaksa dihilangkan,”jelasnya.
Seperti jumlah peserta pertandingan yang berdasarkan kesepakatan berjumlah lima orang, menjadi enam orang, jarak lemparan, bentuk gasing besar dan kecilnya belum seragam dan masih banyak lagi.
“Ukuran hule harus diratakan. Kayak saya kemarin punya gasing besar melawan gasing kecil. Tidak cocok karena lemparannya akan beda,”tutup Jhon.
Kegiatan metandi mehule berlangsung selama dua hari dan dimenangkan oleh Desa Tondo, Kecamatan Bungku Barat, disusul juara dua Dinas Pertanian, juara tiga RSUD Morowali, juara empat Kecamatan Bungku Barat dan juara lima Desa Uwe Dago, Kecamatan Bungku Barat.
Warisan Budaya Takbenda
Sebagaimana yang diberitakan bbc.com. Gasing disebut berasal dari China lalu ke wilayah Austronesia, termasuk Indonesia, gasing menyebar dan menjadi bagian dalam tradisi nusantara.
Di Aceh, gasing disebut menjadi cara memilih calon penerus Sultan Iskandar Muda. Bagi suku Melayu, gasing menjadi bagian dalam perayaan musim tanam dan panen, bahkan disebut menjadi media peramalan akan masa depan.
Lalu di Sumatera Barat, gasing konon dikatakan menjadi senjata magis untuk menyakiti orang lain. Dari Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi hingga Maluku, gasing memiliki beragam cerita, nama, bentuk, kegunaan hingga cara main.
Gasing, adalah satu dari sekitar total 2600 permainan tradisional di Indonesia yang disebut terancam punah oleh zaman dan kemajuan teknologi walaupun telah masuk dalam Warisan Budaya Takbenda (WBTB) di Unicef. ***
Hits: 128