Pariwisata

Mengenal Lebih Dekat Kawasan Konservasi dan Wisata Sombori

PROLIFIK.ID – Indonesia memiliki kecantikan alam yang luar biasa. Keindahan itu jatuh di salah wilayah timur Indonesia tepatnya di Sombori Desa Mbokita, Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah.

Sombori dikenal sebagai lokasi wisata yang eksotis atau miniatur Raja Ampat. Namun, sebenarnya lebih dari itu. Sombori ternyata tidak hanya menyimpan keindahan alam, namun juga memiliki cagar budaya kekayaan tradisi yang patut dijaga dan dilestarikan.

Untuk itu, prolifik.id akan membahas lebih dalam tentang kawasan konservasi dan wisata tersebut. Yuk disimak!

Desa Mbokita terdiri dari gugusan pulau karang dengan pesona lautnya yang begitu memukau yang terletak di Teluk Matarape dan menjadi salah satu kawasan konservasi laut Sombori yang dihuni oleh mayoritas Suku Bajo.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Direktorat Jenderal Kebudayaan menuliskan, Desa Mbokita memiliki beberapa potensi budaya yang belum diketahui masyarakat umum. Salah satunya adalah lukisan dinding prasejarah berupa gambar telapak tangan yang berada di Gua Berlian dan Gua Mbokita.

Keberadaan gambar cadas di dinding gua tersebut telah lama diketahui oleh penduduk setempat. Namun karena keterbatasan referensi membuat mereka urung untuk membicarakannya.

Barulah pada 2018 lalu, setelah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Gorontalo. Melakukan pendataan potensi cagar budaya di Kabupaten Morowali, keberadaan situs sejarah itu bersama-sama dijaga dan dilestarikan.

Sedangkan nama Mbokita berasal dari nama seorang nenek yang merupakan sebutan orang Bajo dalam Bahasa Indonesia kakek atau nenek.

Baca juga: Pengunjung Wisata Pulau Sombori Terus Bertambah

Baca juga: Ritual Pamalupaan, Tradisi Warga Sombori Mencari Keselamatan Kampung

Pulau tersebut, tidak berpantai karena sebagian pinggiran pulau merupakan batuan. Warga setempat membangun pemukiman penduduk di atas air di tepian laut.

Sebelum sampai di pemukiman penduduk, para pengunjung akan disuguhi pemandangan bawah laut yang menakjubkan dengan terumbu karang yang terbentang luas di bawah lautnya.

Bela diri Kontau atau gerakan pencak silat warisan nenek moyang Desa Mbokita. Foto: dok sanggar all utari

Ada pun peta potensi budaya di Desa Mbokita terdiri dari beberapa potensi diantaranya, ritual Pamalupaan (izin kepada Tuhan), Tarawa (Gerhana Bulan), Khitanan (Disompo), Kontau, makanan tradisional Tolimbu, Hinole, Kanjoli, Ikan Garam, Permainan Rakyat, ritual Malupakaka, ritual Mendirikan Rumah, Pijat Tradisional, Medidingke/Mebaguli atau Main Karet, serta tradisi Penangkaran Terumbu Karang.

Namun, dari beberapa ritual dan tradisi tersebut, sebagian sudah hilang, mulai berkurang dilakukan dan masih bertahan bahkan ada beberapa tradisi yang baru dihidupkan.

Ritual-ritual yang masih bertahan itu ,yakni ritual Pamalupaan adalah ritual melarung hasil laut yang bertujuan untuk permohonan izin yang dilakukan di lautan agar kiranya aktivitas yang akan dilakukan oleh masyarakat Mbokita mendapat berkah dari Tuhan penguasa alam.

Selain ritual tersebut, di Desa Mbokita juga terdapat ritual lainnya yakni ritual Malupakaka. Ritual ini dilakukan sesuai urutan yaitu ari-ari anak yang baru lahir didiamkan di rumah selama tiga hari. Kemudian setelah itu akan ditenggelamkan di laut.

Bentuk Ritual Malupakaka oleh warga Desa Mbokita, Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah. Tradisi itu dilakukan untuk bayi yang baru lahir. Foto: dok sanggar all utari

Tujuan dilakukannya ritual yaitu diharapkan anak yang dilahirkan, semasa perkembangannya tidak rewel, sehat serta tetap dilindungi sang pencipta. Meski demikian, ritual ini sudah jarang dilaksanakan.

Ada pula yang disebut, ritual Mendirikan rumah. Ritual tersebut dilakukan dengan mengikatkan kain kafan pada tiang rumah. Maknanya izin kepada penghuni lautan.

Diharapkan, rumah yang dibangun dapat menjadi tempat tinggal nyaman serta mendapat keberkahan Allah SWT. Hingga sekarang, ritual ini masih tetap bertahan.

Selain itu, warga Desa Mbokita juga memiliki pijat tradisional. Hal itu lahir karena daerah tersebut mempunyai akses sarana dan prasarana yang kurang memadai yang membuat masyarakat Desa Mbokita tidak dapat memaksakan fasilitas sama dengan perkotaan.

Oleh karena itu pijat tradisional memiliki makna dan fungsi yang sangat luar biasa bagi masyarakat yang membutuhkan pengobatan.

Ada pula Disompo (Khitanan). Upacara ini memilki makna mendalam yaitu tanda bahwa anak tersebut telah beranjak usia dengan khitanannya.

Dari berbagai macam tradisi yang ada terdapat tradisi yang juga baru saja dihidupkan, yakni tradisi Penangkaran Terumbu Karang dengan cara transplantasi terumbu karang dengan menggunakan bahan besi. Diharapkan dari hasil tersebut bisa menjadi tempat tinggal ikan nantinya.

Tranplantasi terumbu karang tersebut melibatkan komunitas lingkungan Sombori Dive Conservation (SDC) Kabupaten Morowali.

Selain tradisi, Desa Mbokita juga punya jenis-jenis kuliner yang hingga saat ini masih bertahan, seperti makanan tradisional Hinole, Tolimbu, Kanjoli dan Ikan Garam. Khusus Hinole dan Tolimbu proses pembuatan keduanya cukup rumit. Namun masyarakat setempat tetap membuatnya sebagai makanan pengganti nasi dan sumber karbohidrat.

Selain itu, warga Desa Mbokita juga memiliki tradisi bela diri yang disebut Kontau. Tradisi ini adalah gerakan pencak silat warisan nenek moyang yang pernah ada di Mbokita.

Seni bela diri ini, selalu diiringi dengan tetabuhan gendang yang khas dan ditampilkan dalam suatu upacara sebagai sebuah tradisi/adat yang perlu dipertahankan terutama pada upacara pernikahan.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Direktorat Jenderal Kebudayaan menyebutkan, budaya ini telah hilang namun saat ini sedang dihidupkan dan dilestarikan kembali sebagai kekayaan budaya di Desa Mbokita.

Selain itu terdapat pula, Tarawa (Gerhana Bulan). Tarawa merupakan tradisi penyambutan gerhana bulan. Tradisi itu dilakukan untuk memohon keberkahan pada desa yang biasa dilakukan saat gerhana bulan terjadi. Tarawa juga merupakan tradisi pembersihan. Namun tradisi ini sudah lama ditinggalkan atau hilang.***

Hits: 210

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button