Nestapa Petani Rumput Laut di Morowali, Dipaksa Dua Kali Merugi
PROLIFIK.ID – Masuknya perusahaan nikel PT. Baoshua Taman Industri Investmen (BTIIG) yang kini berubah nama menjadi Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) di Kecamatan Bumi Raya, Kabupaten Morowali, Sulteng tidak dapat dipungkiri membantu meningkatkan investasi daerah, tapi juga diikuti dengan mimpi buruk bagi warga yang hidup di lingkar tambang.
Saat ini, kondisi air laut di Desa Parilangke mulai tercemar, sehingga memaksa para petani rumput laut yang bergantung pada aktivitas tersebut harus berhenti total.
Gagal panen terjadi sejak akhir tahun 2022. Bila biasanya seminggu rumput laut ditinggalkan kondisinya makin tumbuh membesar, kini itu tidak ada lagi.
“Sekarang kalau seminggu saya kasi turun rumput laut, saya dapatkan lumpur tebalnya macam jari telunjuk. Dua Minggu saya tinggalkan, hancur,”ujar petani rumput laut, warga Desa Parilangke, Mahmud (63) yang melakukan aktivitasnya tersebut sejak 20 tahun yang lalu.
Perusahaan terus menggerogoti gunung dan menimbun laut membuat kondisi air laut Desa Parilangke yang tadinya sangat baik menjadi tempat penanam rumput laut kini berubah seiring dengan pencemaran lingkungan.
Keadaan itu memaksa para petani rumput laut untuk meminta ganti rugi oleh perusahaan. Pembicaraan dan pertemuan demi pertemuan dilakukan, seiring dengan tidak adanya lagi harapan bertani seperti sedia kala. Bahkan, pertemuan sampai dilakukan di Kantor DPRD Morowali guna membahas ganti rugi tersebut.
Lalu disepekatilah, dana ganti rugi oleh perusahaan. Meski besaran ganti ruginya tidak akan pernah sebanding dengan hilangnya seumur hidup mata pencaharian rumput laut warga.
“Selama rapat pembahasan ganti rugi di kantor desa, saya terus dibuat kecewa. Kami merasa dipaksa untuk tidak protes dengan potongan 10 persen. Nama kami akan dicoret,”kenang Mahmud menguatkan kesaksian petani rumput laut sebelumnya, Zainudin Aras.
Sebenarnya, ada yang menarik dari upaya ganti rugi petani rumput laut di Desa Parilangke. Petani yang sebelumnya sudah berhenti sebagai petani rumput laut juga dimasukkan di dalam data ganti rugi perusahaan oleh desa walaupun berhenti menjadi petani sudah sejak lama.
Seperti, Moh. Nasir (63) dia sudah berhenti menjadi petani rumput laut sejak tahun 2019, begitu juga Roniawan (39) yang berhenti sejak tahun 2018.
Namun, nasib Nasir masih lebih beruntung dari Roniawan, namanya dimasukkan sebagai penerima kompensasi ganti rugi rumput laut sebesar Rp 157.060.000 dengan jumlah 800 bentangan. Meski begitu, seperti petani rumput laut lainnya, ia turut protes dengan jumlah itu.
“Dari data yang kami kumpulkan harusnya dengan 800 bentangan, saya bisa memperoleh Rp 195.000.000. Berarti ada sekitar Rp 40 juta uang saya hilang,”jelasnya.
Tidak sampai di situ, ia juga bertanya-tanya mengapa ada warga yang sejak dulu tidak pernah melakukan aktivitas rumput laut, tapi namanya juga bisa dimasukkan sebagai penerima kompensasi.
“Ada warga yang tidak pernah melakukan aktivitas rumput laut tapi bisa punya 1.800 bentangan. Bisa dibayangkan berapa uang kompensasi yang ia peroleh tanpa pernah bertani rumput laut sebelumnya,”ujar dia.
Bagi Nasir itu tidak adil karena seharusnya yang dimasukkan sebagai penerima kompensasi tersebut adalah warga yang terdampak dan pernah melakukan aktivitas rumput laut walaupun sudah berhenti.
“Kami merasa masih punya hak. Bentangan saya masih ada di laut,”terangnya.
Sementara itu, menurut Roniawan, berbagai persoalan muncul saat warga ingin memasukkan namanya sebagai penerima kompensasi.
“Kami harus mengganti jenis pekerjaan di KTP, yang tadinya swasta menjadi nelayan. Saya terkendala di situ. Jadi hingga kini ada 17 warga yang namanya tidak dimasukkan di dalam daftar ganti rugi itu,”ungkapnya.
Dana kompensasi yang diberikan perusahaan sebenarnya tidak cukup besar dari hilangnya mata pencaharian warga yang berdampak seumur hidup. Dengan mematikan usaha petani, sama saja memutus mata pencaharian warga.
“Dulu sekali panen saya bisa sampai Rp 100 juta,”kata Zainudin.
Saat ini ia mendapat dana kompensasi sebesar Rp 188.000.000 yang seharusnya Rp 243.400.000. Artinya jumlah kompensasi sebenarnya tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh petani rumput laut sebelum masuknya perusahaan tambang hingga terjadi pencemaran lingkungan.
Tuntutan para petani Rumput laut yang masih aktif dan tidak lagi itu berdasar. Sebab bagi mereka, petani rumput laut Desa Parilangke belum menyatakan diri berhenti dari aktivitas itu.
Kapan saja mereka bisa bertani rumput laut. Laut adalah ruang hidup yang memberi manfaat bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya.
“Petani rumput laut masih punya hak bertani rumput laut. Apalagi pekerjaannya tidak menetap. Kadang sebagai petani dan turun ke laut lagi,”ucap Bahar salah seorang petani rumput laut.
Oleh karena itu lanjutnya, atas nama para petani rumput laut di Desa Parilangke, ia meminta haknya dikembalikan.
Saat hal ini dikonfirmasi kembali ke Kepala Desa Parilangke, Rastan terkait petani rumput laut yang hingga kini meminta haknya. Media ini tidak mendapat jawaban. ***
Hits: 334