RDP Dugaan Persetubuhan Perempuan Disabilitas Tanpa Kehadiran Pemda Morowali
PROLIFIK. ID – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Morowali, Provinsi Sulteng telah melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait dugaan persetubuhan perempuan disabilitas asal Kecamatan Menui Kepulauan yang dihentikan Penyelidikannya oleh Polres Morowali. Namun, pertemuan itu tidak dihadiri Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Morowali sebagai instansi yang bersentuhan langsung terkait pelayanan masyarakat.
Hadir saat itu, Wakil Ketua, Asgar Ali, Ketua Komisi I, Hasnain, Anggota Komisi III DPRD Kabupaten Morowali, Subhan Matorang, Camat Menui Kepulauan, Suaib Amja, Kepala Desa Padei Darat Bahdar, Kasat Reskrim Polres Morowali, Arya W, Kanit PPA, Erwin Ibrahim, Ketua, Sekretaris dan anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan Karya Morowali, Moh. Rizal Yudhiansyah SH, Saiful SH Agus Rahmat Jaya SH dan Nordin SH.
Adapun instansi yang tidak menghadiri rapat tersebut yakni Bagian Hukum Setdakab Morowali, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Pemberdayaan, Perlindungan, Perempuan dan Anak (DPMDP3A) Morowali.
RDP itu menghasilkan dua kesimpulan, pertama pihak DPRD mendorong mengawal kasus dugaan persetubuhan disabilitas. Kedua, pihak Polres Morowali bersedia untuk memberikan ruang dan bersama-sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan Karya untuk menyurat ke Polda Sulteng membuka kembali gelar perkara kasus dugaan persetubuhan disabilitas.
Namun di sisi lain, ketidakhadiran dua instansi Pemda Morowali yakni DPMDP3A dalam hal ini Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) cukup menjadi atensi. Tidak hanya LBH juga DPRD sendiri.
Menurut Wakil Ketua I DPRD Morowali, Asgar Ali, seharusnya perwakilan Pemda hadir dalam RDP untuk dimintai keterangannya tentang sejauh apa penanganan dan penyelesaian kasus itu.
“Harusnya mereka hadir,”kata Asgar yang mengaku belum menguasai kasus itu mengingat ia baru mendengarnya. Sehingga pada kesempatan itu, Asgar memilih mengikuti alur pembicaraan.
Sama halnya dengan yang disampaikan Ketua LBH Keadilan Karya Morowali, Rizal Yudhiansyah. Ia mengaku menyesalkan ketidakhadiran instansi terkait khususnya DPMDP3A pada pertemuan itu. “Saya sempat hubungi Kabid PPA Bu Samsidar, saya tanya kenapa tidak hadir? Katanya mereka ada acara di luar. Memangnya satu kantor keluar acara? Dinas Sosial harusnya juga hadir,”tandasnya.
Di hadapan anggota DPRD yang hadir, Rizal mengangkat sebuah kertas yang tak lain adalah sebuah Perda Penyandang Disabilitas yang disahkan oleh anggota DPRD Kabupaten Morowali sendiri pada tahun 2020 dan ditandatangani oleh Bupati Morowali.
Namun, sayang sekali, implementasi dari Perda itu menurutnya sia-sia sebab buktinya Pemda Morowali terkesan tidak menjalani aturan yang dibuatnya sendiri sebagai rujukan dalam penyelesaian kasus hukum disabilitas di wilayahnya sendiri.
“Untuk apa ada Perda ini dibuat? Hanya buang-buang anggaran saja,”singgung Rizal.
Perda itu sejatinya dibuat untuk memudahkan agar penyandang disabilitas di Morowali bisa mendapatkan kepastian hukum. Namun malah sebaliknya.
“Ini kasus disabilitas sudah setahun. Sementara penangannya di Polres terlalu umum. Padahal ini perkara khusus,”jelasnya.
Untuk diketahui, dalam azas hukum Lex specialis drogat Legi Generalis yakni azas hukum khusus mengenyampingkan aturan hukum umum. Bila merujuk pada persoalan disabilitas, penangan hukumnya seharusnya menggunakan aturan khusus.
“Namun kenyatannya disabilitas Morowali dijerat aturan umum. Padahal, mereka ini harusnya punya penanganannya sendiri. Korban R umurnya 22 tahun, tapi kalau dia disabilitas tunagrahita, maka umurnya akan setara dengan anak d bawah umur lima berdasarkan kecerdasan intelektualnya,”jelasnya lagi.
“Ini Polres Morowali terlalu mengumumkan kasusnya, sementara ini disabilitas,”ujarnya lagi.
Demikian juga dikatakan Sekretaris LBH Keadilan Karya Morowali, Saiful SH usai menghadiri RDP. Menurutnya dalam Perda Morowali Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Pasal 89 Ayat 2, jelas-jelas disebutkan Pemda wajib menjamin penyandang disabilitas bebas dari segala bentuk kekerasan psikis, fisik, ekonomi dan seksual.
Adapun instansi DPMDP3A berdasarkan Perda itu disebutkan harus bersentuhan langsung dengan memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan.
“Sehingga eksekutif dan legislatif turut memantau dan bertanggung jawab terhadap keadilan korban R,”ucapnya lagi.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas juga menjamin hak-hak, perlindungan dan kehormatan para penyandang disabilitas secara hukum. “Nah fungsi Polri di sini berdasarkan Pasal 2, Undang-Undang Kepolisian menyebutkan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan Kamtimbmas, penegakan hukum, perlindungan, pengayom, dan pelayan masyarakat.”tambah Saiful.
Sehingga, lanjutnya, Polri secara Institusi harus melindungi penyandang disabilitas, karena ada sebagian fungsi pemerintah yang harus dijalankan Polri. Bagi dia, jika Polri sebagai alat negara tidak bagus, sebaik apapun regulasi atau peraturan Perundang-undangan yang dibentuk, tidak akan maksimal Implementasinya karena hak khusus disabilitas dikesampingkan oleh pihak Kepolisian.
“Pasal 30 Undang-Undang Disabilitas jelas-jelas menyebutkan penegak hukum sebelum memeriksa penyandang disabilitas wajib meminta pertimbangan atau saran dari dokter, psikiater, dan psikolog klinis, ini yang terlewatkan sehingga proses hukum sebelumnya terkesan umum”jelasnya.
Dalam pertemuan itu, ia tak lupa menekankan agar Polres Morowali tidak berbohong lagi sebab pertemuan serupa sudah dilakukan sebanyak empat kali. Tetapi jawaban Polres Morowali selalu berubah-ubah.
“Kami sudah empat kali dibohongi. Terkahir kami dibohongi di ruang Kapolres Morowali. Kapolres berjanji akan membuka perkara tersebut sesuai dengan prosedur dan gelar perkara. Faktanya, berdasarkan surat Polres Morowali tertanggal 4 Oktober 2022 yang menjadi rujukan penerbitan surat belum ada gelar perkara selain itu. Intinya surat tanggal 31 Agustus pertemuan dengan Pemda Morowali, itu diabaikan oleh Kapolres,”akunya.
Wakil Ketua DPRD Morowali, Asgar Ali menyebutkan sebelumnya pihak sudah memiliki legal opinion terkait kasus itu, yang intinya DPRD tidak bisa mengintervensi karena kasus tersebut mengarah langsung ke pidana, namun pada pertemuan itu ia baru menyadari bahwa sebenarnya Kabupaten Morowali selama ini telah memiliki Perda tentang Penyandang Disabilitas.
“Jadi kita masuk pakai itu dulu karena ada Perda,”ungkapnya.
Di sisi lain, ketidakhadiran Pemda hari itu, menjadi catatan tersendiri bagi DPRD. Adapun masukan-masukan terkait kinerja instansi terkait juga akan menjadi catatan tersendiri untuk dilakukan perbaikan-perbaikan dan pembenahan. Tak lupa, ia menitipkan harapan agar kasus bisa dibuka secara terang-terangan.
“Saya juga minta LBH Keadilan Karya agar serius mendampingi kasus ini,”tutup Asgar. ***
Hits: 287