Sosial Politik

Mengurai Benang Kusut Penyelidikan Dugaan Persetubuhan Gadis Disabilitas Morowali

Pagi itu tangisan Aswati Budia (42), warga Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali, Sulteng pecah di hadapan Kapolres Morowali, AKBP Suprianto. Ia tidak kuasa menahan sedihannya saat dimintai untuk mengungkapkan perasaannya sebagai orangtua gadis disabilitas korban dugaan persetubuhan.

“Saya sudah capek mi. Tidak ada kejelasan perkara anakku ini,”ungkap Aswati menutup separuh wajah dengan kedua tangannya seakan menahan suara tangisan yang sudah bercampur kecewa dan emosi.

Suasana kemudian hening. KBO Reskrim, Ipda Nico Eliezer yang hadir di ruangan saat itu, berinisiatif mengambil tisu, sedangkan Kuasa Hukum Korban, Advokat Saiful SH membuka sebotol air mineral dan memberikannya kepada Aswati.

Saat itu tengah berlangsung pertemuan di ruangan Kapolres Morowali, Selasa (13/9/2022) membahas kasus persetubuhan gadis disabilitas. Selain Kapolres, Ipda Nico dan Saiful, juga duduk bersama, Kanit IV PPA, Aipda Erwin Ibrahim, Staf Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A) Morowali, Bu Jum.

Dalam rintihannya, Aswati, orangtua korban R mengaku sudah menghabiskan seluruh waktu dan energinya untuk mencari keadilan atas kasus yang menimpa anaknya.

Tidak tanggung-tanggung, sudah hampir setahun tepatnya 20 Desember 2021 laporannya sudah masuk di Polres Morowali, tetapi kasus tersebut belum juga ada titik terang. Sementara, segala daya dan upaya sudah dilakukan.

Selama ini, Aswati dengan membawa satu anak kecil dan R sudah empat kali ke Kota Bungku, Ibukota Morowali. Selama itu pun, ia menumpang di rumah keluarganya. Saat pelaporan pertama, Aswati rela tinggal selama lima bulan dengan kondisi bolak-balik Polres Morowali. Setelah itu tidak mendapat kejelasan, ia balik ke kampungnya.

Kemudian, ia dipanggil kembali, lalu tinggal lagi di rumah keluarganya selama sebulan. Lalu kembali lagi ke Bungku dan setelah itu balik pulang ke kampung. Lalu yang terakhir ini, ia diminta datang kembali. Terhitung, sudah hampir sebulan Aswati kembali tinggal di rumah keluarganya untuk menunggu kejelasan kasus yang menimpa anaknya.

“Anakku saya bawa semua. Di perjalanan kadang cuaca tidak bagus (ombak),”katanya.

Dalam rintihan keputusaannya itu, di hadapan para penegak hukum, Aswati sudah tidak takut lagi meminta ketegasan Kapolres Morowali untuk menyelesaikan kasus anaknya penyandang disabilitas tuna grahita yang telah disetubuhi pelaku yang sebenarnya dicurigai adalah orang terdekatnya sendiri.

“Yang penting sakit hati saya sebagai ibu yang anaknya dibuat seperti itu terbayarkan,”ungkap Aswati menyapu dada sebagai isyarat bersabar atas proses hukum anaknya.

Kapolres: Kasus Bisa Dibuka Kembali

Kapolres Morowali, AKBP. Suprianto kepada media ini melalui pesan WhatsAap (WA), Senin (12/9/2022) mengatakan kasus dugaan persetubuhan gadis disabilitas asal Kecamatan Menui Kepulauan, bisa dibuka kembali asalkan sesuai prosedur.

“Melalui mekanisme gelar perkara,”jelasnya.

Kuasa Hukum Korban Advokat Saiful SH, menjelaskan kepada media ini, bagaimana kasus itu bisa dibuka kembali sebagaimana pernyataan Kapolres Morowali.

“Kasus ini belum sampai di SP3. Artinya kasusnya bisa dibuka kembali melalui gelar perkara. Jika ada SP3, kemungkinan upaya hukum yang kami tempuh adalah Praperadilan, cuma SP2HP bukan objek Praperadilan”jelasnya.

Korban R (22), Aswati Budia (tengah) dan adiknya (4). Ketiga saatnya ini menumpang di rumah keluarganya di Bungku Tengah. Foto: dok LBH Keadilan Karya Morowali

“Inti dari pertemuan itu, Pemerintah Daerah (Pemda) Morowali melalui P3A diminta menyurat dulu ke Polres terkait tindak lanjut pertemuan tanggal 31 Agustus di Ruang Sekda Morowali,”jelasnya lagi.

Saiful membeberkan saat pertemuan di ruangan Kapolres Morowali, sempat terjadi sedikit perbedaan pendapat antara Kapolres dan Penyidik terkait apakah kasus tersebut bisa atau tidak dibuka kembali. Namun, pada akhirnya, Kapolres secara tegas membantah pernyataan penyidik yang menyatakan bahwa kasus tidak bisa dibuka kembali.

“Alhamdulilah Kapolres-nya bagus terkait prosedur, tapi untuk saya penyidik yang hadir saat pertemuan rapat di ruangan Sekda tidak konsisten dengan pernyataannya saat berada di ruangan Kapolres,”terangnya.

Dijelaskannya lagi, bahwa Kapolres Morowali menyoroti bagaimana kasus itu hanya menuntut keberadaan saksi. Sementara kasus terbilang minim saksi. Sehingga membuat pendamping hukum kelabakan mencari saksi. Sebaliknya, dalam menyelesaikan kasus seperti itu, semuanya tergantung dari kejelian penyidik.

Saiful bersepakat dengan pernyataan Kapolres bahwa kasus dugaan persetubuhan gadis disabilitas tidak seperti dugaan tindak pidana lainnya yang membutuhkan saksi. Tetapi, keberadaan petunjuk saja sudah cukup.

“Kasus dugaan persetubuhan itu sudah memenuhi dua alat bukti, yakni surat, keterangan ahli, dan korban juga sudah memberikan kesaksian sebab selama ini korban hanya menyebut satu nama pelaku,”terangnya.

Beberapa kasus serupa yang telah ia tangani juga demikian, kasus-kasus minim saksi bahkan kesaksian biasanya hanya didengar dari satu orang ke orang lainnya, tetapi pelaku akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dan dipenjara juga.

“Kenapa kasus ini ribet sekali? Kalau sudah cukup alat bukti, seret saja pelakunya,”tandas Saiful.

Ia berharap, jika kasus ini bisa dibuka kembali, psikolog klinis harus dihadirkan untuk lebih menjelaskan mengenai kejiwaan R.

Kehadiran Psikolog Klinis Perintah Undang-Undang

Dalam pertemuan bersama UPTD P3A Provinsi Sulteng dan P3A Pemda Morowali, UPTD P3A Provinsi, LBH Keadilan Karya dan Penyidik Polres Morowali, Rabu (31/9/2022), terungkap bahwa UPTD P3A Provinsi Sulteng siap menghadirkan psikolog klinis dengan gratis.

Syaratnya, UPTD P3A Provinsi Sulteng tinggal menunggu surat permintaan tersebut apabila Polres Morowali membutuhkan pendampingan psikolog klinis.

Kehadiran psikolog klinis untuk penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum sudah diuraikan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Pasal 30, dimana disebutkan penegak hukum sebelum memeriksa penyandang disabilitas wajib meminta pertimbangan atau saran dari:

a. Dokter atau tenaga kesehatan lainnya mengenai kondisi kesehatan;

b. Psikolog atau psikiater mengenai kondisi kejiwaan;

c. Pekerja sosial mengenai kondisi psikososial.

“Maka dari itu, surat keterangan ahli saja tidak cukup. Penegak hukum tidak bisa lepas dari psikolog klinis kalau korban atau pelakunya disabilitas. Saya yakin kalau menghadirkan mereka kasusnya akan terang-benderang. Tetapi masalahnya, saya menganggap Polres Morowali terkesan tidak mau menghadirkan psikolog klinis,”tandas Saiful.

Di sisi lain, ia juga berharap, P3A Morowali bisa aktif melakukan pendampingan seperti yang ditekankan Kapolres Morowali pada saat pertemuan itu. Sehingga kasus tersebut bisa ditangani sesuai dengan perspektif korban. ***

Hits: 210

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button