Nestapa Perempuan Disabilitas asal Morowali, Jadi Objek Seksual hingga Sulit Dapatkan Keadilan
R (21) sebut saja nama inisialnya, perempuan disabilitas asal Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali menjadi korban pemerkosaan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab di kampungnya. Kejadian itu baru diketahui setelah adiknya yang baru berusia 3 tahun lebih memergoki kakaknya digerayangi dan ditiduri oleh seorang kakek yang tidak lain tentangganya sendiri.
Dari pengakuan R, saat akan disetubuhi, terlebih dahulu bagian tubuh sensitifnya dipegang dan remas oleh pelaku. Lalu mulutnya ditutup dengan tangan pelaku. R yang disabilitas tunagrahita atau cacat intelektual itu lalu coba dibaringkan dikasur kemudian disetubuhi oleh si kakek.
R, mengaku tidak ditiduri sekali. Bahkan lebih dari satu kali. Itu ia ceritakan pada bidan di Puskesmas Menui saat bidan-bidan itu dimintai pihak kepolisian setempat untuk memeriksa keadaan vaginanya sebagai bukti bahwa pemerkosaan itu telah terjadi. Dan benar saja, keadaan vagina R sudah seperti perempuan menikah atau tidak perawan lagi.
Hal tersebut juga diperkuat dengan bukti visum yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Morowali yang menyatakan selaput R sudah robek. Keluarga R sudah berusaha melaporkan kasus tersebut ke Polres Morowali agar pelaku segera ditangkap. Sehingga R bisa mendapatkan keadilan seperti perempuan korban pemerkosaan pada umumnya.
Namun itu cuma harapan, nyatanya, proses hukum kasus tersebut berlangsung hingga enam bulan. Waktu yang panjang untuk menyelesaikan kasus pemerkosaan. Pelaku juga tidak pernah ditahan dengan alasan masih dalam proses penyelidikan juga unsur-unsurnya belum terpenuhi. Proses hukum terkesan jalan di tempat.
Di Polres Morowali, awalnya terjadi perdebatan antara penyidik dan Pendamping Hukum R Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan Karya Morowali. Penyidik awalnya membantah bahwa R tergolong disabilitas. Lalu keluarga berinisiatif membawa korban ke Rumah Sakit Anutapura Palu (RSAP) untuk diperiksa ke psikolog mengenai kondisi R. Psikolog lalu mengeluarkan hasil pemeriksaan sebagai berikut:
- Klien memiliki kapasitas intelejensi yang rendah. Klien tidak mampu mengerjakan tes CFIT hingga selesai, hal tersebut dikarenakan ketidakmampuan memahami instruksi yang sederhana hingga kompleks.
- Secara emosional klien kurang mampu memahami dan mengelola informasi dengan baik. Hal tersebut dapat terjadi karena kemampuan klien yang rendah dalam mengelola informasi dengan baik. Sehingga tidak mampu memahami dan memberikan respon emosional yang tepat.
- Dalam hubungan interpersonal, kepekaan sosial kline tergolong kurang. Klien kesulitan menyesuaikan diri dengan baik. Hal tersebut terlihat dari respon klien yang berusaha untuk menghindari kontak mata dari orang lain.
Kepada Prolifik.id, Psikolog RSAP, Idris menjelaskan, surat pemeriksaan itu menunjukan bahwa R tergolong disabilitas tunagrahita.
Namun, rupanya, jalan panjang R untuk memperoleh hak perlindungan hukum atas kejadian yang menimpa dirinya masih melewati jalan buntu. Bukti bahwa dirinya penyandang disabilitas yang seharusnya mendapat prioritas pada saat pemeriksaan oleh kepolisian, tidak berjalan sebagaimana semestinya.
Penyidik terus berfokus kepada pencarian saksi yang mengetahui langsung kejadian itu sebab pengakuan adik R yang menjadi saksi kunci terungkapnya kejahatan tersebut tidak bisa menjadi alat bukti pemerkosaan itu.
Hukum di Indonesia tidak memperbolehkan anak di bawah umur menjadi saksi dalam kasus pidana. Keterangan saksi anak dianggap bukan alat bukti yang sah dan hanya bisa dipakai sebagai petunjuk. Sehingga tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna.
“Sementara saksi lainnya hanya berdasarkan katanya-katanya,”ujar Kasat Reskrim Polres Morowali, IPTU Arya Widjaya, dalam konfrensi pers, Rabu (8/6/2022).
Akhirnya, kasus pemerkosaan tersebut diberhentikan penyelidikannya oleh Polres Morowali lantaran dari hasil pertimbangan ahli pidana asal Sulawesi Tenggara, tidak ada unsur pidana yang membuktikan bahwa pelaku menyetubuhi R.
Pasal yang menjerat pelaku yang sebelumnya ditetapkan Pasal 286 KUH yang berbunyi”Barang siapa yang bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya sedang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya”, oleh dosen ahli pidana dianggap tidak memenuhi unsur, sehingga melalui ahli pidana tersebut dijelaskan”Pingsan atau tidak berdaya” berdasarkan Pasal 89 KUHP yang berbunyi”Melakukan kekerasan dapat disamakan dengan membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya. Pingsan artinya hilang ingatan atau tidak sadar akan dirinya, atau tidak mengetahui lagi apa yang terjadi dengan dirinya”
Berdasarkan hal itu ahli pidana menilai, orang yang sakit ingatan atau keterbelakangan mental, sakit jiwa meskipun hanya kadang-kadang saja. Mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana, maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan. Karena hal itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.
Dalam hal ini, keterangan R sebagai korban sekaligus saksi korban tidak berkekuatan hukum lantaran dianggap keterbelakangan mental sehingga pernyataannya tidak bisa dipertanggungjawabkan sempurna di mata hukum.
Polres Morowali memang telah mengeluarkan keputusannya, namun keluarga R tentu tidak akan tinggal diam, langkah apapun akan ditempuh untuk mendapatkan keadilan anaknya bersama Pendamping Hukum LBH Keadilan Karya Morowali.
“Sampai hari ini kami masih menunggu Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) dari penyidik. Surat itu akan kami analisa. Kenapa dihentikan penyelidikannya,”ungkap Saiful.
LBH juga tetap meyakini bahwa korban R saat persetubuhan terjadi dalam keadaan tidak berdaya karena memiliki intelegensi yang kurang seperti pernyataan psikolog, sehingga tidak dapat berpikir seperti layaknya orang dewasa pada umumnya yang berakibat pada tidak mengertinya korban atas apa yang terjadi.
Namun, melalui pesan WhatsAap (WA), Arya mengatakan kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan, dalam hal ini tidak diberhentikan secara keseluruhan. Sehingga berdasarkan KUHAP dan Perkab pihaknya hanya bisa mengeluarkan SP2HP. Jawaban itu sebenarnya cukup mengejutkan, sebab hal itu tidak disampaikannya pada konfrensi pers sebelumnya. Sehingga informasi yang diberikan terkesan setengah-setengah.
“Belum ada proses sidik. Kalau sidik baru kami akan keluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3),”jelasnya.
Kini, akankah korban disabilitas yang berhadapan dengan hukum bisa memperoleh haknya untuk mendapatkan keadilan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang kepada mereka? Kita lihat saja. ***
Hits: 276