Kisah ‘Pulau Emas’ yang Lama Hilang Muncul di Sungai Indonesia, Ada Harta Karun
PROLIFIK.ID – Berita soal penemuan harta karun mungkin bukan hal yang aneh terjadi. Tapi kalau itu ditemukan di Indonesia, ini akan beda cerita. Seperti penemuan benda-benda berharga di Sungai Musi, Palembang, Sumatra Selatan, yang sempat menghebohkan masyarakat Indonesia.
Sungai Musi sudah sejak lama disebut sebagai tempat bersemayamnya harta karun peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Bahkan, media asing seperti Live Science menyebutnya sebagai ‘Pulau Emas’, karena konon ada emas yang mengalir di bawah dasar sungai tersebut.
Harta karun Sungai Musi pertama kali booming pada 2011, ketika para pekerja konstruksi mengeruk pasir dari Musi dan menemukan artefak yang berkilauan. Ini membuat para nelayan yang awalnya mencari ikan banting setir menjadi pemburu harta karun dengan menyelam ke dasar sungai berharap menemukan sesuatu yang berharga.
Beberapa laporan menyebut, para penyelam pernah menemukan ratusan benda bernilai jutaan hingga miliaran rupiah, seperti patung emas buddha, lonceng kuil, cermin, guci, koin emas, prasasti, hingga gagang pedang emas dan perhiasan Sriwijaya. Beberapa ilmuwan percaya, dahulu kala Sungai Musi ini adalah pusat kota Kerajaan Sriwijaya yang pernah menjadi pelabuhan di sepanjang rute perdagangan laut antara Timur dan Barat.
Menurut cerita, Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka antara pertengahan tahun 600 hingga 1025-an, sampai terlibat perang dengan dinasti Chola India dan mengalami kekalahan. Sejak saat itu, pengaruh Sriwijaya menurun meski perdagangan masih terus berlanjut di sana hingga dua abad lamanya.
Raja terakhir Sriwijaya, Parameswara, berusaha untuk kembali merebut kejayaan atas perdagangan di wilayah Selat Malaka, tapi mereka kalah oleh kerajaan terdekat yang berada di Jawa pada 1390-an. Setelah itu, wilayah Sriwijaya dan sekitarnya menjadi surga bagi para bajak laut China.
Kini, hanya sedikit jejak yang ditinggalkan pelabuhan Sriwijaya, salah satunya candi dan beberapa prasasti. Sebagian informasi tentang ‘Pulau Emas’ yang hilang berasal dari orang asing (pedagang dan pelancong) yang menulis perjalanan mereka ke Sriwijaya.
Orang asing itu menggambarkan Sriwijaya sebagai kota ‘Lord of the Rings’, mereka mengaku bertemu dengan binatang-binatang fantastis, gunung berapi yang menyemburkan asap dan api, ular pemakan manusia, burung beo yang bisa meniru bahasa Hindia, Yunani, dan Arab, serta pelaut bersenjata yang siap menyerang kapal ilegal.
Sementara menurut arkeolog Prancis, Pierre-Yves Manguin, raja Sriwijaya telah membangun kuil Buddha di China dan India sebagai penghormatan selama abad ke-10. Hal ini juga dilakukan untuk menunjukkan bahwa Sriwijaya adalah kerajaan kaya raya.
Sriwijaya memiliki sumber daya alam lokal yang berlimpah, termasuk tanaman yang sangat berharga seperti kayu cendana dan kapur barus. Ada juga emas,” – Sean Kingsley, arkeolog kelautan dan editor di majalah Wreckwatch yang menulis Pulau Emas –
Bagaimana peradaban yang begitu kaya bisa lenyap tanpa jejak?
Menurut Kingsley, ada satu kemungkinan bahwa sebagian besar kota Sriwijaya terdiri dari struktur kayu yang dibangun tepat di atas sungai. Gaya arsitektur ini masih terlihat di beberapa sungai di Asia Tenggara sampai sekarang. Rumah-rumah dibangun di atas rakit dan diikat menjadi semacam kota terapung.
Dengan demikian, sebagian besar bangunan Sriwijaya akan membusuk dalam beberapa generasi. Hanya meninggalkan tiang dan tunggul. Ada kemungkinan juga peristiwa geologis terkait aktivitas vulkanik di Sumatera telah meluluhlantakkan dan mengubur bangunan Sriwijaya.
Hari ini, hampir tidak ada jejak yang tersisa dari masa kejayaan Sriwijaya, kecuali artefak berharga yang ditarik penyelam dari dasar sungai. Tidak ada penggalian arkeologis resmi yang pernah dilakukan di Sungai Musi. Artefak yang ditemukan penyelam dijual oleh kolektor di pasar barang antik global.
Antara 2011 dan 2015, misalnya, sejumlah besar artefak kemungkinan dari masa kejayaan Sriwijaya muncul di pasar barang antik Jakarta. John Miksic, Profesor studi Asia Tenggara di National University of Singapore menyebut, barang-barang itu dijual dengan harga murah, jauh dari harga seharusnya.
“Saya pikir penjarahan mungkin masih berlangsung,” tulis Miksic sebagaimana dikutip Live Science. “Sungai itu lebar 1 km di Palembang. Aktivitas serupa telah dilaporkan di Batanghari di Jambi, sungai besar berikutnya di utara Palembang.”
Menjual objek sejarah, itu berarti akan menghilangkan konteks cerita keseluruhannya, membuatnya sulit dipelajari. Ini tak lain karena tidak ada upaya akademis atau peraturan pemerintah Indonesia untuk melindungi situs tersebut, sehingga beberapa artefak dibeli oleh kolektor.
Artinya, walaupun artefak Sriwijaya ditemukan, kita tidak akan bisa melihat dan memastikan apakah itu milik kerajaan Sriwijaya atau bukan, termasuk menganalisis seperti apa kehidupan pada masa itu. ***
Sumber: kumparan.com
Hits: 7