Peluang Bisnis Rotan Menjanjikan di Morowali, Tapi Belum Tersentuh

PROLIFIK.ID – Di usia yang hampir sepuh, Munajat Yusuf (58) pengrajin rotan asal Desa Sakita, Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, masih lincah menganyam rotan di atas kursi plastiknya.
Hari itu ia memperlihatkan bagaimana kesehariannya menganyam rotan. Tidak mudah menganyamnya. Dibutuhkan keterampilan dan ketekunan. Munajat sendiri mengaku memiliki tiga sertifikat untuk menuntaskan keterampilannya menganyam rotan.
“Menganyam rotan sudah menjadi hobi saya sejak kecil. Istilahnya sejak kepala ini masih kecil, yang paling pertama sudah kerajinan rotan yang lebih dulu dikenal,”ceritanya ditemui di kediamannya, Sabtu (15/1/2022).
Orangtua Munajat juga pengrajin rotan. Dahulu, warga di desa menjadikan kerajinan rotan dan damar sebagai mata pencaharian selain berladang. Masyarakat terbiasa menunggu hasil panen sambil menganyam rotan mengisi waktu luang.
Tak heran, sejak usia setara anak Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), ia banyak bergelut dengan kerajinan rotan. Bahkan biaya sekolahnya juga berasal dari rotan.
“Dan sekarang sampai punya cucu, saya tetap menjadi pengrajin rotan,”ujarnya.
Ia biasanya menganyam di ruang tamunya, ditemani istrinya Suharni (57). Hari-hari biasa, bila pemesanan banyak, Munajat akan memanggil anggota kelompoknya ‘Kelompok Air Terjun’. Kelompok yang dibentuknya untuk membantunya menyelesaikan pesanan-pesanan.
Dalam sebulan, Munajat membutuhkan sekitar 30-40 kilo rotan fitrit. Fitrit atau pietrit merupakan bagian inti yang biasanya berasal dari rotan memiliki ukuran yang kecil seperti kubu dan jawit. Namun sifatnya lentur, memiliki lapisan spons dan seratnya sedikit kasar. Rotan fitrit merupakan bahan baku utama dalam pembuatan keranjang rotan.
“Kalau dulu masih usia agak muda, saya bisa menghabiskan hingga 100 kilogram rotan fitrit,”katanya.
Untuk memperoleh rotan fitrit, Munajat memesannya langsung di pubrik rotan fitrit di Kelurahan Kayumalue, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu. Sekilo, rotan fitrit dihargai sekitar Rp 27 ribu. Jumlah itu akan berubah bila sampai ke Kabupaten Morowali karena jarak. Setelah dipesan, rotan fitrit kemudian diantar ke agen travel menuju Morowali. Begitu seterusnya.

“Makannya harga kerajinan saya agak mahal karena biaya-biaya tadi,”ungkap dia.
Selain menjadi pengrajin, ia juga menjadi pengepul rotan. Hasil dari mengepul akan disalurkan di Desa Wosu, Kecamatan Bungku Barat. Di tempat itu terdapat pengepul yang punya fasilitas angkutan untuk dibawa ke Palu.
Rotan-rotan dari Kabupaten Morowali kemudian dikirim ke Palu, diolah menjadi rotan fitrit, lalu kembali ke tangan Munajat di Morowali untuk diolah menjadi kerajinan tangan.
“Kalau di sini punya pabrik produksi rotan fitrit, tentu harganya akan lebih murah dan begitu juga kerajinan yang saya buat,”akunya.
Dahulu, cerita Munajat, sebelum menjadi pengrajin rotan, ia adalah pengepul di Morowali. Ia biasanya mengepul rotan dalam skala besar pernah berton-ton untuk dibawa ke Surabaya melalui pelabuhan.
“Namun sekarang hanya di desa saja (mengepul). Saya tidak mampu untuk berjalan jauh,”katanya lagi.
Setelah memutuskan istrahat itu, Munajat menggeluti kerajinan rotan. Usaha itu sudah ia geluti sekitar 13 tahun.
Adapun jenis kerajinan rotan yang biasa ia hasilkan seperti bosara yakni wadah yang digunakan untuk menyajikan kue dalam hajatan pesta pernikahan, syukuran maupun acara seremonial, juga tudung saji, keranjang-keranjang buah, piring, lampion, vas bunga besar hingga tempat pensil.
“Saya biasanya membuat berdasarkan keinginan pemesan,”jelas dia.
Sebenarnya, Munajat masih mampu membuat kerajinan rotan dengan jumlah banyak, namun ia juga disibukkan dengan kegiatan aktivitas hariannya yakni sebagai guru Pendidikan Jasmani (Penjas) di SD. Sehingga merangkai rotan dilakukannya di sela-sela waktu luangnya.
Namun begitu, pesanan terus datang. Mau tidak mau, jika pesanan dalam jumlah banyak, ia akan melibatkan anggota kelompoknya tadi untuk membantu setelah itu membagi hasilnya. Namun dari kelompok itu yang masih aktif hanya Munajat sendiri, sisanya lebih banyak aktif di ladang dan di tempat lainnya.
“Mereka belum melihat kerajinan ini sebagai peluang,”tutur Munajat.
Padahal, ia sendiri mendapat keuntungan dari berbisnis rotan. Anaknya bahkan bisa menyelesaikan pendidikan sarjananya dari hasil kerajinan itu sendiri. Penghasilannya sebagai guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sekolah tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan keluarga. Terlebih, Surat Keputusan (SK) pengangkatan PNS-nya sudah digadai di bank.
“Jadi, membuat kerajinan ini membantu saya memenuhi kebutuhan keluarga. Apalagi saat anak saya sekolah, saya lebih giat membuat kerajinan. Saya tidak mau dia menunggak uang kuliah. Dan alhamdulilah, semua tercukupi,”ungkap Munajat lagi.
Bergelut dengan Regenerasi
Walaupun terbilang lancar-lancar saja dalam berbisnis kerajinan rotan, selama menjalankan bisnis tersebut, Munajat kerap mendapat tantangan dan hambatan. Utamanya pada pemasaran.

Sejak dulu beberapa orang termaksud organisasi memintanya untuk menitip barang atau menjualkan barang-barangnya di wilayah lain. Namun, Munajat belum tergerak. Lantaran kerap mendapati pedagang yang tidak amanah.
Misalkan saja, barang produksinya banyak diambil untuk dijualkan, tetapi hasil penjualan kadang tidak kembali pada dirinya. Soal bantuan Pemerintah Daerah (Pemda), pernah sekali-sekali ia mendapat bantuan. Tetapi, Munajat tidak berharap banyak. Namun tidak menutup kemungkinan bila ada bantuan, ia menyambut baik.
Seperti bantuan bahan kerajinan rotan Fitrit yang belum lama ini ia terima. Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pernah membantunya 60 kilogram rotan fitrit.
Anggota DPRD tersebut awalnya memintanya membuatkan 20 buah lampion. Namun setelah itu turut menyediakannya rotan fitrit dan tetap membayar 20 lampion pesanannya.
“Anggota DPRD itu sangat mengapresiasi usaha saya. Katanya, dia lebih senang membantu usaha yang nyata-nyatanya lebih jelas, dibanding memberikan bantuan sapi ke masyarakat ternyata dijual juga,”cerita Munajat.
Walaupun begitu, masih ada pekerjaan rumah yang sampai saat ini menjadi beban pikiran Munajat yakni regenerasi pengrajin rotan. Di Kota Bungku, pengrajin rotan seperti dirinya masih sangat jarang. Bahkan mungkin hanya ia saja yang melakukan pekerjaan itu.
Padahal, usaha tersebut sangat bagus bila digeluti dengan sungguh-sungguh. Menurut Munajat regenerasi terhadap kerajinan itu perlu dipikirkan. Beberapa orang yang sudah dibinanya, belum ada yang ingin menekuni usaha tersebut. Padahal peluang bisnis kerajinan rotan terbuka luas tidak hanya di Kabupaten Morowali saja.
“Kerajinan saya ini laku di Kabupaten Morowali Utara dan pernah di Sulawesi Tenggara, Kendari juga habis terjual,”ucapnya.
Tak usah jauh-jauh, di Kota Palu, bisnis kerajinan rotan juga sangat menjanjikan. Di sana banyak pengrajin tumbuh. Berbeda jauh dengan Kabupaten Morowali. Di sisi lain, kenyataan itu di mata pengrajin lainnya mungkin bisa jadi menguntungkan karena Munajat akan menjadi pemain satu-satunya di daerahnya. Tetapi baginya, itu sama dengan masalah.
“Saya pikir-pikir saya sudah tua. Sudah dikenal di Morowali sebagai pengayam rotan. Tapi kalau saya lepas ini siapa lagi yang bisa teruskan. Karena terus terang dimana-mana pesan ke saya,”akunya lagi.
Di sisi lain menurutnya, dukungan Pemerintah Daerah (Pemda) dan stakeholder juga sangat diharapkan terutama untuk pengembangan usaha kerajinan rotan. Pemberian pelatihan-pelatihan kerajinan rotan sangat diharapkan agar kerajinan yang dihasilkan bisa lebih berkualitas. ***
Hits: 115